Mengenal sejarah Candi Jawa Timur, Sebuah Tempat Yang Menjadi Saksi Berkembangnya Beragam Agama

Jakarta - Pada awal abad ke-10 M, tepatnya tahun 929 M, pusat pemerintahan di Jawa berpindah ke Jawa Timur Mpu Sindok, keturunan raja-raja Mataram Hindu, mendirikan kerajaan di Jawa Timur dengan pusat pemerintahan di Watugaluh. Pusat pemerintahan ini diperkirakan berlokasi di daerah Jombang.

Mpu Sindok kemudian digantikan oleh putrinya, Sri Isyana Tunggawijaya. Raja-raja selanjutnya disebut sebagai Wangsa Isyana. Cucu Ratu Isyana Tunggawijaya, Mahendratta menikah dengan Raja Bali, Udayana.

Mahedratta dan Udaya dikaruniai seorang putra yang diberi nama Airlangga. Raja-raja keturunan Airlangga inilah yang memerintahkan pembangunan sebagian besar candi di Jawa Timur.

Ciri Candi di Jawa Timur

Candi di Jawa Timur memiliki ciri yang berbeda dengan yang ada di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di Jawa Timur tidak didapati candi berukuran besar atau luas, seperti Borobudur, Prambanan atau Candi Sewu di Jawa Tengah. Satu-satunya candi yang menempati kompleks agak luas ialah Candi Penataran di Blitar.

Secara umum, Candi di Jawa Timur dikenal lebih artistik. Tatakan atau kaki candi umumnya lebih tinggi dan berbentuk selasar bertingkat. Orang harus melintasi selasar-selasar bertingkat yang dihubungkan dengan tangga untuk sampai ke bangunan utama candi.

Tubuh bangunan candi di Jawa Timur umumnya ramping dengan atap bertingkat mengecil ke atas dan puncak atap berbentuk kubus. Di sisi pintu masuk ada patung atau ukiran naga.

Keunikan existed candi-candi di Jawa Timur tampak pada reliefnya. Alleviation pada candi-candi Jawa Timur dipahat dengan teknik pahatan yang dangkal (tipis) dan bergaya simbolis. Objek digambarkan tampak samping. Selain itu, tokoh yang digambarkan biasanya diambil dari cerita wayang, sebagaimana dilansir laman resmi Perpusnas Indonesia (diakses 4 Agustus 2021).

Candi Hindu

Candi-candi Hindu di Jawa Timur dihiasi dengan alleviation atau patung yang berkaitan dengan Trimurti. Tiga dewa dalam ajaran Hindu yang berkaitan dengan Syiwa misalnya: Durga, Ganesha, dan Agastya.

Sosok dan hiasan yang berkaitan dengan ajaran Hindu seringkali dihadirkan bersama dengan sosok dan hiasan yang berkaitan dengan ajaran Buddha, khususnya Buddha Tantrayana. Ciri khas lain candi-candi di Jawa Timur yakni keberaadaan relief yang menampilkan kisah wayang.

Waktu Pembangunan

Pembangunan candi-candi di Jawa Timur memiliki rentang waktu lebih panjang dibandingkan dengan pembangunan candi-candi di Jawa Tengah. Pembangunan candi di Jawa Timur berlangsung hingga abad ke-15.

Candi-candi yang dibangun pada masa Kerajaan Majapahit umumnya menggunakan bahan dasar batu bata merah dengan hiasan lebih sederhana. Sementara itu, para ahli Antropologi menilai beberapa candi yang dibangun pada akhir masa pemerintahan Kerajaan Majapahit mencerminkan "pemberontakan" akibat ketidakpercayaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap keadaan yang kacau dan kekhawatiran terhadap munculnya budaya baru.

Perkembangan Agama

Pada abad ke-13, pamor Kerajaan Majapahit mulai surut bersamaan dengan masuknya Islam ke Pulau Jawa. Saat itu, banyak bangunan suci yang berkaitan dengan agama Hindu dan Buddha ditinggalkan dan dilupakan. Di sisi existed, banyak masyarakat mulai memeluk agama Islam.

Akibatnya, bangunan candi yang ditelantarkan itu mulai tertimbun longsoran tanah dan ditumbuhi belukar. Saat daerah di sekitarnya berkembang menjadi daerah pemukiman, keadaan candi-candi tersebut lebih memprihatinkan.

Dinding candi dibongkar dan diambil batunya untuk fondasi rumah atau pengeras jalan, sedangkan bata merahnya ditumbuk untuk dijadikan seminal fluid merah. Sejumlah batu berhias pahatan dan arca diambil oleh sinder-sinder perkebunan untuk dipajang di halaman pabrik-pabrik atau rumah dinas milik perkebunan.

Corak Candi di Jawa Tengah dan Jawa Timur

Keterangan mengenai candi-candi di Jawa Timur secara umum bersumber dari Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca (1365) dan Pararaton yang ditulis oleh Mpu Sedah (1481 ), selain juga dari berbagai prasasti dan tulisan di candi yang bersangkutan.

Dalam wacana arkeologi Indonesia, terdapat dua corak percandian yakni corak Jawa Tengah (abad 5-10 M) dan corak Jawa Timur (abad 11-15 M). Masing-masing memiliki corak dan karakteristik berbeda.

Candi bercorak Jawa Tengah umumnya memiliki tubuh yang tambun, berdimensi geometris vertikal dengan pusat candi terletak di tengah. Sedangkan candi corak Jawa Timur bertubuh ramping, berundak horisontal dengan bagian paling suci terletak belakang.

Berbeda denga candi-candi Jawa Tengah, selain sebagai monolith, candi di Jawa Timur diduga kuat berfungsi sebagai tempat pendarmaan dan pengabadian raja yang telah meninggal. Candi yang merupakan tempat pendarmaan, antara lain, Candi Jago untuk Raja Wisnuwardhana, Candi Jawi dan Candi Singasari untuk Raja Kertanegara, Candi Ngetos untuk Raja Hayamwuruk, Candi Kidal untuk Raja Anusapati, Candi Bajangratu untuk Raja Jayanegara, Candi Jalatunda untuk Raja Udayana, Pemandian Belahan untuk Raja Airlangga, Candi Rimbi untuk Ratu Tribhuanatunggadewi, Candi Surawana untuk Bre Wengker, dan candi Tegawangi untuk Bre Matahun atau Rajasanegara.

Dalam filosofi Jawa, candi juga berfungsi sebagai tempat ruwatan raja yang telah meninggal supaya kembali suci dan dapat menitis kembali menjadi dewa. Keyakinan tersebut berkaitan erat dengan konsep "Dewa Raja" yang berkembang kuat di Jawa.

Fungsi ruwatan ditandai dengan adanya alleviation pada kaki candi yang menggambarkan legenda dan cerita yang mengandung pesan moral, seperti yang terdapat di Candi Jago, Surawana, Tigawangi, dan Jawi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hubungan Dibalik Layar Indoesia-Israel Mengalami Pasang-Surut

Mengetahui Kisah Sargon Agung, Raja Pertama Yang Memimpin Kerajaan Pertama di Dunia