Mengetahui Kisah Sejarah Saat Peristiwa Jawa Timur Membara
Jakarta - Tak konsisten dengan kesepakatan yang sudah dibuat, rakyat Surabaya marah terhadap militer Inggris. SHRI P.R.S. Mani masih ingat situasi ketika dia kali pertama datang ke Surabaya. Akhir Oktober 1945, pagi itu keadaan berjalan normal.
Toko-toko buka seperti biasa. Becak-becak meluncur di jalan dengan kecepatan teratur. Sementara itu kendaraan-kendaraan bermotor yang sudah kuno berlalu-lalang, mendenguskan asap hitam yang menjengkelkan.
Di jalanan, bendera merah putih terpasang hampir di semua kendaraan. Sebaris kata 'merdeka' ditulis sangat besar dalam kain terpal yang panjang.
Selain itu nampak jelas tanda-tanda yang membuat para prajurit
Rajputana dan Maharatta dari Brigade Infanteri ke-49 British Indian Army
gelisah: suatu coretan besar di tembok kota berbunyi 'Azadi ya
Kunrezi!' (Merdeka atau Mati!).
"Tidak seperti di Batavia, Surabaya sangat beda. Tidak ada isyarat
keramahan buat kami ... Sedikit pun,"ungkap Mani dalam The Story of Indonesia Revolution, 1945-1946. Para prajurit BIA memang layak merasa tertolak di Surabaya. Mereka
dianggap sebagai pihak yang tidak kstaria terhadap janji.
Baru saja
sehari sebelumnya mereka bersepakat dengan tokoh-tokoh pejuang Surabaya
untuk menjamin kondisi lebih aman dan terkendali, tiba-tiba pada 27
Oktober 1945 sebuah pesawat dakota RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris)
menyebarkan ribuan selebaran yang isinya membuat arek-arek Suroboyo
marah.
"Mereka menuntut kami untuk menyerahkan semua senjata hasil rampasan
dari tentara Jepang. Jika tidak, Inggris akan langsung menembak mati di
tempat orang Surabaya yang tidak patuh pada permintaan itu,"ungkap Des
Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945.
Satu jam setelah kejadian itu, pimpinan TKR di Surabaya Jenderal Mayor
drg. Moestopo dan Residen Soedirman langsung menemui Brigadir A.W.S
Mallaby, pimpinan tentara Inggris di Surabaya. Dalam pertemuan tersebut,
Mallaby menyatakan dirinya tidak tahu menahu mengenai pamflet yang
ditandatangani oleh atasannya di Batavia itu.
"Namun sebagai perwira British, meski saya sudah menandatangani
persetujuan dengan para pemimpin Republik di Surabaya, saya harus
mematuhi instruksi panglima saya,"demikian menurut Mallaby seperti
dicatat oleh Des Alwi.
Jawaban Mallaby membuat Moestopo dan Soedirman sangat kecewa.
Sebagaimana orang-orang Surabaya lainnya, mereka berdua mulai kehilangan
rasa percaya kepada pihak Inggris.
Terutama ketika Mallaby
memerintahkan pasukannya untuk menyita kendaraan-kendaraan milik
orang-orang Indonesia, merampas senjata mereka, menduduki gedung-gedung
baru dan menginstruksikan pamer kekuatan di tengah kota.
Gubernur Soerjo terus berupaya untuk mencoba jalan tengah. Nyatanya, apa
yang diusahakan Soerjo berjalan sia-sia. Ketika melapor ke Jakarta,
para pejabat pemerintah pusat hanya menyarankan agar masyarakat Surabaya
tidak terpengaruh, sambil meminta mereka untuk menolak ultimatum itu
secara tegas.
Moestopo sendiri langsung mengatur anak buahnya. Dari jam ke jam,
situasi kota di timur Jawa itu semakin membara. Beberapa kontak senjata
sudah dimulai di beberapa sudut Surabaya. Lewat asistennya bernama
Kolonel Pugh, Brigadier Mallaby menyerukan semua pejuang Surabaya bisa
menahan diri dan memikirkan baik-baik untuk menerima ultimatum
Inggris tersebut.
Namun alih-alih menuruti yang disarankan oleh Mallaby, Komandan TKR
Keresidenan Surabaya Djendral Mayor Jonosewojo dan Residen Surabaya
Sudirman malah menjawab ajakan itu dengan penolakan complete atas
ultimatum Inggris: pasukan Republik menolak untuk menyerah.
Komentar
Posting Komentar