Mengetahui Sejarah Asal Mula Pondok Tebuireng di Jombang, Hanya Dibuat Dari Anyaman
Jakarta - Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang, Jawa Timur merupakan salah satu
institusi pendidikan berbasis pesantren yang sangat terkenal di
Indonesia. Namun, siapa sangka jika dulunya pondok pesantren ini berupa
bangunan kecil yang terbuat dari anyaman bambu.
Tebuireng merupakan nama pedukuhan yang termasuk wilayah administratif
Desa Cukir, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. Nama pedukuhan ini
kemudian dijadikan nama pesantren yang didirikan oleh KH. M. Hasyim
Asy'ari.
Asal Mula Nama Tebuireng
Almarhum KH. Ishomuddin Hadzik (Gus Ishom) pernah bercerita mengenai
asal usul nama Tebuireng Konon, nama tersebut berasal dari kata "kebo
ireng" yang artinya kerbau hitam. Dulu, ada seorang penduduk yang
memiliki kerbau berwarna kuning. Suatu hari kerbau tersebut menghilang.
Setelah dicari ke sana ke mari, kerbau tersebut ditemukan terperosok di
rawa-rawa. Tubuhnya penuh lintah dan sekujur kulitnya berubah menjadi
hitam. Peristiwa ini membuat pemilik kerbau berteriak "kebo ireng ...
kebo ireng". Sejak saat itu, dusun tersebut dikenal dengan nama Kebo
Ireng.
Selanjutnya, ketika penduduk dusun mulai ramai, nama Kebo Ireng berubah
menjadi Tebuireng. Tidak diketahui pasti kapan perubahan itu terjadi.
Penamaan Tebuireng diduga ada kaitannya dengan munculnya pabrik gula di
selatan dusun yang mendorong masyarakat menanam tebu.
Ada kemungkinan, tebu yang ditanam berwarna hitam sehingga dusun
tersebut dinamakan Tebu Ireng (tebu yang berwarna hitam). Nama Tebu dan
Ireng kemudian digabung menjadi Tebuireng, tanpa pemisah spasi. Dalam
terminologi Ilmu Nahwu, penggabungan dua nama menjadi satu seperti itu,
disebut Murokkab Majzi.
Ada versi existed yang menjelaskan bahwa nama Tebuireng merupakan
pemberian dari seorang punggawa kerajaan Majapahit yang masuk Islam dan
kemudian tinggal di sana, seperti dilansir lama resmi Dinas Perpustakaan
dan Arsip Provinsi Jawa Timur (diakses 2 Agustus 2021).
Berdirinya Pesantren Tebuireng
Pada penghujung abad ke-19, di sekitar Tebuireng banyak bermunculan
pabrik milik orang asing, terutama pabrik gula. Dilihat dari sisi
ekonomi, keberadaan pabrik-pabrik tersebut menguntungkan karena akan
membuka banyak lapangan kerja. Tetapi dari sisi psikologis justru
merugikan, lantaran masyarakat belum siap menghadapi industrialisasi.
Masyarakat belum terbiasa menerima upah sebagai buruh pabrik. Akhirnya,
upah yang mereka terima digunakan untuk hal-hal yang bersifat
konsumtif-hedonis, seperti berjudi dan pesta miras.
Ketergantungan rakyat terhadap pabrik berlanjut pada penjualan
tanah-tanah rakyat yang memungkinkan hilangnya hak milik atas tanah. Hal
ini diperparah dengan gaya hidup masyarakat yang sangat jauh dari
nilai-nilai agama.
Kondisi masyarakat yang demikian menimbulkan keprihatinan mendalam pada
diri Kiai Hasyim. Beliau kemudian membeli sebidang tanah milik seorang
dalang terkenal di dusun Tebuireng. Pada 26 Rabiul Awal 1317 H atau 3
Agustus 1899, Kiai Hasyim mendirikan sebuah bangunan kecil yang terbuat
dari anyaman bambu berukuran 6x8 meter.
Bangunan sederhana itu disekat menjadi dua bagian. Bagian belakang
dijadikan tempat tinggal Kiai Hasyim bersama istrinya, Nyai Khodijah.
Sementara bagian depan dijadikan musala. Saat itu santrinya berjumlah 8
orang. tiga bulan kemudian jumlahnya meningkat menjadi 28 orang.
Intimidasi dan Fitnah
Kehadiran Kiai Hasyim dan Pondok Pesantren Tebuireng tidak langsung
mendapat sambutan baik oleh masyarakat setempat. Intimidasi dan fitnah
datang silih berganti.
Selain Kiai Hasyim, para santri juga sering mendapat teror dari
kelompok-kelompok yang tidak menyukai keberadaan pesantren di Tebuireng.
Teror yang membayangi Pesantren Tebuireng kala itu beraneka ragam.
Mulai pelemparan batu, kayu, atau penusukan senjata tajam ke bilik bambu
yang menjadi bangunan pondok. Para santri seringkali tidur bergerombol
di tengah-tengah ruangan lantaran takut tertusuk benda tajam.
Di luar pondok, para santri juga mengalami gangguan. Mereka diancam
untuk meninggalkan pengaruh Kiai Hasyim. Gangguan-gangguan tersebut
berlangsung selama dua setengah tahun. Untuk menghadapi hal tersebut,
para santri disiagakan berjaga secara bergiliran.
Latih Pencak Silat dan Kanuragan
Saat gangguan semakin membahayakan dan menghalangi sejumlah aktivitas
santri, Kiai Hasyim mengutus seorang santri pergi ke Cirebon, Jawa Barat
guna menemui Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Sansuri
Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet.
Keempatnya merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Keempat kiai tersebut
diundang Kiai Hasyim ke Tebuireng untuk melatih pencak silat dan
kanuragan para santri selama kurang lebih delapan bulan.
Berbekal kanuragan dan ilmu pencak silat, para santri tidak khawatir
lagi terhadap gangguan dari luar. Bahkan Kiai Hasyim sering mengadakan
ronda malam seorang diri. Kawanan penjahat sering beradu fisik
dengannya, namun dapat diatasi dengan mudah.
Banyak di antara kawanan penjahat yang kemudian meminta diajari ilmu
pencak silat dan bersedia menjadi pengikut Kiai Hasyim. Sejak saat itu
Kiai Hasyim mulai diakui sebagai bapak, master, sekaligus pemimpin
masyarakat.
Selain dikenal ahli dalam ilmu pencak silat, Kiai Hasyim juga dikenal
ahli dalam bidang pertanian, pertanahan, serta produktif dalam menulis.
Kiai Hasyim menjadi teladan bagi masyarakat sekitar yang mayoritas
berprofesi sebagai petani.
Suatu ketika anak seorang majikan Pabrik Gula Tjoekir berkebangsaan
Belanda menderita sakit parah dan dalam keadaan kritis. Setelah
dimintakan air doa kepada Kiai Hasyim, anak tersebut sembuh.
Komentar
Posting Komentar